Kamis, 17 Maret 2011

Mengingat Kembali Perbedaan yang Terlihat Pada Mata

Gede Wahyu Prasetya
10/299336/SP/24105


Hak asasi manusia adalah hak yang paling mendasar yang didapat manusia sejak dari lahir. Atas karena namanya adalah “Hak Asasi Manusia”, maka hak ini berlaku terhadap setiap manusia di dunia tanpa kecuali. Selama manusia masih ada di dunia, maka hak asasi manusia akan selalu ada di dunia ini. Hak asasi manusia tentunya memiliki beberapa hal tertentu dalam konteks pelaksanaaannya. Demikianlah beberapa sifat utama hak asasi manusia, begitu pentingnya di dunia sehingga kita tak mungkin dapat hidup tanpanya.

Selama ini, yang tidak begitu jelas adalah batas-batas hak asasi manusia. Apakah ia tidak berbatas? Jika berbatas, di mana batasannya?

Hal tersebut dibahas dalam International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD). CERD ini dibuat dalam bahasa yang hendak dibuat setepat mungkin sehingga satu kalimat dapat saja membentuk 4 baris bacaan. CERD terdiri dari 3 bagian, yakni bagian hak-hak asasi manusia (bagian 1), institusionalisme CERD di negara-negara peserta (bagian 2), dan kesimpulan (bagian 3).

Fokus dalam tulisan ini adalah bagian pertama dari CERD karena khalayak sebaiknya mengetahui hal-hal dasar dalam CERD ini. Bagian kesimpulan tidak akan perlu bahas karena sudah cukup jelas. Bagian kedua menjelaskan pelaksanaan CERD secara institusional. Bagian pertama ini berbeda dengan pasal-pasal hak asasi manusia lainnya karena di dalamnya juga turut tertulis tentang rasialisme, tentang betapa kita tidak boleh membedakan orang atas dasar perbedaan latar belakang.

Pasal 1 berbunyi:

“In this Convention, the term “racial discrimination” shall mean any distinction, exclusion, restriction, or preference based on race, color, descent, or national or ethnic origin which has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, or any other field of public life.”

Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa diskriminasi rasial (rasial dalam bahasa Indonesia disebut SARA) dapat membatasi hak asasi manusia seseorang. Lalu dalam pasal-pasal selanjutnya tertulis semakin tegas bahwa kepemilikan hak asasi manusia tidak boleh dibedakan atas perbedaan SARA.

Dalam hal ini, dunia internasional telah mengetahui bahwa eks kepala polisi Vlastimir Djordjevic berasal dari etnis Serbia. Pada kasus Vlastimir Djordjevic di Serbia, beliau membuat "Serbia yang murni" dengan membantai etnis Albania.

Hal tersebut disebut sebagai diskriminasi karena beliau hanya membantai etnis Albania sementara etnis Serbia tidak, meskipun memang katanya logis jika tidak membunuh etnis Serbia. Namun, lewat pandangan kesetaraan, hal tersebut tidaklah benar karena seharusnya semua orang diperlakukan sama meski betapa berbedanya mereka.

Saat itu, CERD telah diratifikasi oleh banyak negara sehingga legitimasinya diakui luas. Karenanya Vlastimir Djordjevic dianggap sebagai penjahat oleh dunia internasional dan telah dihukum oleh Mahkamah Internasional.

Demikianlah yang terjadi di negeri yang jauh di Eropa Timur sana. Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia pernah beberapa kali terjadi hal-hal yang bisa dipersamakan dengan diskriminasi SARA. Hal-hal tersebut tidak menjadi suatu isu yang sampai menggegerkan dunia internasional karena terjadi dalam skala kecil. Dari apa yang diberitakan media, para korbannya berasal dari agama Islam, khususnya suatu aliran yang bernama Ahmadiyah. Perlu diketahui bahwa Ahmadiyah adalah salah satu aliran dalam agama Islam yang sering mendapatkan perlakuan diskriminatif di Indonesia.

Umat Ahmadiyah baru-baru ini mendapat suatu perlakuan tidak baik dari umat Islam lainnya. Seperti yang terjadi di Temanggung beberapa waktu lalu, diskriminasi juga terjadi di daerah Banten. Pihak Ahmadiyah sendiri mengaku hanya bisa bersabar menanggapi hal semacam itu.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa diskriminasi tersebut masih tetap ada? Di mana peran negara? Perihal peristiwa di Cikeusik, pihak kepolisian telah memperingatkan Ahmadiyah bahwa akan terjadi kerusuhan demikian. Namun kepolisian tetap tidak bisa mencegah aksi tersebut dan mengakibatkan 3 orang tewas.

Bagaimana pun juga harus tetap diingat bahwa para pelaku tindakan SARA tersebut, dari Vlastimir Djordjevic sampai para pelaku di Indonesia, semuanya adalah manusia, terlepas dari sasaran mereka, apakah itu Ahmadiyah atau pun etnis Albania. Dibalik semua kejahatan yang telah disebutkan di atas, semua itu hanyalah usaha manusia dalam mempertahankan haknya, namun cara-cara mereka dapat saja dipandang salah. Presiden Milosevic hanya ingin memenuhi hak asasi etnis Serbia dalam bertindak. Para pelaku kerusuhan di Indonesia hanya ingin menjamin agar kehidupan beragama mereka tidak diganggu oleh anomali-anomali aliran lain. Namun dalam pelaksanaannya ternyata mereka malah justru membatasi hak asasi manusia orang lain.

Jadi, batas-batas hak asasi manusia seseorang adalah hak asasi manusia orang lain. Jika mengutip arti mendalam dari kalimat “Tat Twam Asi”, yang artinya “Aku adalah kau”, maka kita harus memperlakukan orang lain sama sebagaimana kita akan memperlakukan diri sendiri. Marilah kita bersama-sama mengenal orang lain sebagaimana kita mengenal diri kita sendiri, terlepas dari latar belakang apa pun dari orang lain itu. Karena dengannya kita akan mengerti mengapa orang lain juga tak menyukai kekerasan terhadap dirinya sendiri. Ibaratnya batu marmer. Jika saat kita pukul malah tidak hancur, maka tangan kita yang akan terasa sakit.

Sumber: http://bit.ly/efZhtq; http://bit.ly/f8f1FO;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar