Rabu, 16 Maret 2011

ICERD sebagai salah satu instrumen HAM dan pelaksanaannya di Indonesia

Ibnu Khairudin
10/297107/SP/23927

ICERD atau singkatan dari International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination merupakan konvensi yang mengatur tentang penghapusan diskriminasi rasial. ICERD mulai dibicarakan pada bulan Desember 1960 saat banyak terjadi insiden antisemitism di seluruh dunia dan secara mengejutkan konvensi ini diawali dari negara dunia ketiga. Lalu pada tanggal 26 Desember 1965, Majelis Umum PBB mulai mengadopsi konvensi ini sebagai resolusi 2106 (XX). Konvensi ini mulai berlaku efektif pada 4 Januari 1969. Sampai dengan Februari 2011 sudah terdapat 174 peserta dan 85 penandatangan.
ICERD sendiri terdiri dari 3 Bab dan 25 Pasal, isi dari konvensi ini tidak hanya tentang ras, suku dan kebangsaan tetapi juga menyangkut hak beragama, berpolitik, ekonomi, sosial, budaya, dll tetapi menyangkut hal-hal yang bersifat rasial. Demi keberlangsungan konvensi, dibentuklah CERD (Committee on the Elimination of Racial Discrimination) yaitu komite yang bertugas mengawasi pelaksanaan dari konvensi ini. Badan ini terdiri dari 18 orang ahli independen dan diganti setiap 2-4 tahun sekali dan biasanya bertemu pada bulan Maret dan Agustus di Geneva, Swiss. Badan ini dapat memeberikan rekomendasi untuk pelaksanaan yang lebih efektif kepada setiap negara anggota. Setiap negara wajib melaporkan pelaksanaan konvensi ini selama 2 tahun sekali kepada CERD.
Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 1999, dan dimasukan kedalam UU No.29 Tahun 1999. Setelah itu pelaksanaan penghapusan diskriminasi rasial mulai dipraktekan , salah satunya mulai terbentuknya badan-badan sosial, seperti yang disebutkan dalam laporan ketiga Indonesia kepada CERD. Contohnya adalah Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dll. Selain itu juga beberapa hukum Indonesia yang diganti untuk mendukung konvensi ini. Contohnya adalah pasal 4 UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dimana tidak ada pembetasan bagi setiap warga negara Indonesia yang ingin mendapatkan pendidikan. Namun dalam pelaksanannya, Indonesia masih belum bisa mengatasi diskriminasi rasial yang terjadi, hal ini disebabkan oleh banyak hal salah satunya adalah pluralisme di Indonesia dimana banyak sekali suku bangsa di Indonesia. Selain itu juga faktor pergesekan yang menyangkut sentimen agama masih sering terjadi di Indonesia, contohnya yang terjadi baru-baru ini adalah upaya penghapusan “Jamaah Ahmadiyah” yang dilakukan salah satu kelompok yang mengaku kelompok Islam ekstrimis. Namun pemerintah juga patut disalahkan dalam setiap tindak perilaku diskriminasi rasial, dimana terlihat sikap kurang tegas pemerintah Indonesia terhadap pelaku sehingga menunjukan kelemahan sistem yang ada. Bukan hanya itu, pemerintah Indonesia masih mendiskriminasi kelompok minoritas demi kepentingan politiknya. Hal ini jelas melanggar pasal-pasal yang ada dalam ICERD, maka jelas diperlukan perbaikan sistem di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar