Rabu, 16 Maret 2011

Efektivitas ICERD di Tingkat Praktis

Amir Abdul Aziz
09/281874/SP/23330

Kelas Pengantar Studi Hak Asasi Manusia pada Jumat, 11 Maret 2011 lalu membahas sebuah tema besar yaitu diskriminasi rasial. Di lingkungan internasional, perjanjian yang disepakati secara universal oleh seluruh negara tentang penghapusan diskriminasi rasial adalah ICERD (International Convention on the Elimination of all forms of Racial Discrimination). Definisi rasial yang disebutkan dalam pasal satu meliputi ras, warna kulit, keturunan dan kebangsaan. Namun dalam perjalanannya definisi rasial kembali lagi kepada masing-masing negara di dunia dalam menginterpretasikan kata tersebut. Sebagai contohnya Indonesia, definisi diskriminasi rasial dalam produk hukum undang-undang anti diskriminasi tidak hanya kelima elemen sebelumnya namun berkembang menjadi sebelas elemen meliputi agama, kepercayaan, budaya dan lainnya.

Menurut penulis, hal yang perlu dicermati dalam pendefinisian ulang kata ’rasial’ oleh setiap negara adalah efektivitas penegakkan nilai-nilai hak asasi manusia itu sendiri. Dalam artian ketika setiap negara diberi kebebasan untuk mendefinisikan apa yang dianggapnya sebagai perlindungan anti diskriminasi rasial, tentu akan muncul berbagai dimensi rasial yang berbeda satu dengan lainnya. Mungkin di negara A pemisahan peran berdasarkan ras merupakan diskriminasi rasial namun belum tentu pula di negara B. Sebagai contoh adalah Malaysia, di negara tersebut secara alamiah konstruksi sosial masyarakat telah mengkotak-kotakkan peran warga negaranya berdasarkan ras seperti bidang politik dipegang oleh kelompok bumi putera, bidang ekonomi dikendalikan oleh etnis Tionghoa sedangkan bidang pendidikan dikelola oleh masyarakat India. Walaupun diskriminasi ini tidak dibenarkan dalam konstitusi tertulis, namun budaya politik tersebut tanpa disadari telah mengkonstruksikan cara berpikir masyarakat Malaysia bahwa peran mereka telah ‘tersedia’ bagi negara dengan mengantongi tiket mutlak sejak lahir yaitu ras. Lebih jauh, masalahnya tidak lagi hanya pada level konstruksi cara berpikir masyrakat namun juga pada level praktik ketika terjadi pengabaian, penolakan eksistensi individu dengan ras tertentu dalam bidang yang ‘dianggap’ bukan tempatnya. Hingga pada akhirnya tindakan ini menjadi hal biasa dalam kehidupan masyarakat. Secara general kita dapat mengklasifikasikan tindakan ini sebagai diskriminasi rasial tetapi apakah masyarakat dengan konstruksi sosial seperti di Malaysia juga menyepakati hal tersebut sebagai diskriminasi rasial. Sehingga hal-hal kecil yang sangat mendasar seperti konstruksi sosial masyarakat dan budaya yang kemudian pada akhirnya tidak dapat menciptakan ‘keadilan’ yang diagung-agungkan oleh penegak HAM.

Materi selanjutnya yang disampaikan adalah kewajiban negara setelah meratifikasi ICERD sebagai bagian hukum nasional antara lain mengkaji ulang dan mencabut undang-undang yang diskriminatif, penyebarluasan pendidikan dan informasi anti diskriminasi rasial serta melakukan tindakan-tindakan khusus kepada kelompok yang menjadi korban ‘ketidakberuntungan sistemik’ seperti affirmative action. Salah satu contoh negara yang telah mewujudkan tindakan khusus kepada kelompok minoritas adalah Selandia Baru. Selama kurang lebih 30 tahun telah diterapkan kuota minimum bagi etnis Maori sebagai perwakilan resmi di parlemen. Di Indonesia sendiri affirmative action yang terlihat wujudnya adalah kuota minimum 30% bagi wanita di DPR.

Pendapat klasik yang muncul dari penulis adalah apakah benar dengan adanya affirmative action dari pemerintah dapat menolong mereka dari kegagalan birokrasi yang sifatnya sistemik. Penulis melihat pada akhirnya affirmative action bukannlah suatu media yang efektif bagi kelompok yang ‘tidak beruntung’ untuk mengembangkan dirinya dan membangun kebijakan yang pro kepada mereka. Hal ini dikarenakan affirmative action hanya memandang eksistensi mereka dalam wujud ‘fisik’ saja. Dalam pengertian singkat kebijakan kuota minimum bagi wanita di DPR Indonesia hanya melihat ‘yang penting ada wanita’, ‘yang penting kuota minimum wanita di DPR terpenuhi’, tetapi affirmative action tidak bisa jauh lebih dalam mengukur apakah benar wanita tersebut memiliki cara pandang dan mengambil sikap yang benar-benar pro kepada wanita secara menyeluruh dan seutuhnya. Selama ini kita hanya menekankan asumsi bahwa wanita akan selalu dan pasti mewujudkan kebijakan yang tidak anarkis dan pro pada wanita namun hipotesis tersebut tidak berlaku mutlak di ranah politik yang penuh kepentingan. Analoginya adalah walaupun dalam decision making process di Amerika Serikat melibatkan wanita di sektor yang sangat vital, seperti Condoleezza Rice dan Hillary Clinton yang menjabat Menteri Luar Negeri di era kepresidenan George W. Bush serta Barrack Obama, namun kebijakan yang dihasilkan tetap anarkis dan tidak mencerminkan perdamaian layaknya sifat wanita.

Hal lainnya, walaupun lebih dari 30 tahun terdapat kuota minimum di Parlemen bagi suku Maori namun tetap saja kesejahteraan tidak dapat setara dengan warga kulit putih. Sehingga pada akhirnya saya melihat affirmative action sebagai salah satu solusi untuk ‘menyenangkan hati’ kelompok yang tidak beruntung tetapi bukan solusi yang terbaik dan paling tepat untuk mengakhiri diskriminasi rasial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar