Kamis, 17 Maret 2011

Keberhasilan Dan Kekurangan Pelaksanaan ICERD di Indonesia

Mohammad Firaz
08/265210/SP/22659


         International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) merupakan konvensi internasional mengenai penghapusan segala bentuk macam diskriminasi sosial. Konvensi ini sendiri muncul sebagai reaksi terhadap berbagai fenomena diskriminasi sosial seperti politik apartheid, pemisahan dan pengucilan atau dukungan sebagian masyarakat dalam bentuk penyebaran dokrin-dokrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis yang banyak marak sebelum perang dunia ke-2. hal ini dapat dicontohkan dengan politik kolonial yang terjadi di Indonesia. Dimana, politik kolonial banyak membagi masyarakat menjadi kelas-kelas yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda berdasarkan kelas yang ditentukan melalui perbedaan warna kulit dan ras. kegiatan diskriminasi ini sendiri banyak dilakukan oleh pemerintah kolonial dan pemerintah berkuasa sebagai trend dalam usaha mempertahankan kepentingan dan kekuasaan. Trend ini yang banyak menyebabkan masyrakat dunia internasional merasa perlu sebuah konvensi yang mengatur terhadap segala bentuk diskriminasi sosial. Konvensi ini sendiri ditetapkan pada tanggal 21 Desember 1965 melalui Majelis Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
          Konvensi ini sendiri terdiri atas 12 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab, yang terdiri dari 25 pasal. Dimana keseluruhan isi tersebut memiliki sistematika yaitu bab I memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur pengertian diskriminasi rasial dan kewajiban negara pihak untuk mengutuk diskrimiansi rasial serta mengambil semua langkah yang sesuai guna menyusun secepat mungkin kebijakan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar ras. Bab II mengatur ketentuan mengenai komite tentang penghapusan diskriminasi rasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination) dan tugas serta kewenangan dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan kenvensi. Bab III merupakan ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan mulai berlakunya konvensi, perubahan, persyaratan (reservation), ratifikasi, dan aksesi, pengunduran diri serat mekanisme penyelesaian sengketa antar negara pihak. Konvensi ini sendiri sudah diratifikasi lebih dari 185 negara di dunia ,hingga hari ini.
           Indonesia sendiri meratifikasi undang-undang ini pada tanggal 25 Juni 1999 melalui undang-undang no 29 tahun 1999. Undang-undang ini sendiri merupakan kelanjutan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Implikasi terhadap proses ratifikasi ini adalah kontrol terhadap pemerintah Indonesia yang di masa lalu banyak melakukan pelanggaran diskriminasi sosial terutama diskriminasi pada etnis Thionghoa. Kontrol ini dilakukan dengan kewajiban negara peserta ratifikasi untuk melapurkan progres penegakkan HAM yang dilakukan setiap tahun, paska meratifikasi konvensi tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui tindakan duta besar tetap untuk PBB yaitu Marakim Wibisono beserta Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) dari Departemen Kehakiman dan HAM Prof. Harkristuti Harkrisnowo yang melaporkan perkembangan pelaksanaan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD)pada sidang Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang penghapusan Diskriminasi atau Ras (CERD) di Jenewa ,Swiss. Delegasi Indonesia melaporkan tentang komitmen pemerintah Indonesia menjalankan konvensi ini, seperti penghapusan diskriminasi terhadap komunita masyarakat Thionghoa Indonesia. Namun, keberhasilan ini juga memiliki kelemahan dalam bidang pelaksanaan terutama konsistensi dari pemerintah Indonesia sendiri, seperti laporan kontras mengenai inkonsistensi dari pemerintah Indonesia seperti pasal 22, Indonesia tidak mengakui mekanisme perselisihan antar negara dibawa ke ICJ (International Court Justice). Hanya bisa berlaku bila mendapat persetujuan dua pihak dan Indonesia tidak melakukan deklarasi terhadap pasal 14 yang berarti tidak mengakui berlakunya mekanisme pengaduan individu ke komite.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar