Kamis, 17 Maret 2011

ICERD: Antara Tujuan dan Realita


Andana Wiyaka Putra
09/280253/SP/23168
Pasca Perang Dunia ke II, seiring dengan perlakuan tidak manusiawi terhadap umat manusia yang ditimpakan oleh perang beserta segala unsur yang terlibat di dalamnya, kesadaran akan perlunya penegakan Hak Asasi Manusia menjadi suatu kesadaran yang kini mendesak untuk mendapat perhatian serius dalam penegakan dan penjaminannya. Kesadaran itulah yang mendorong dideklarasikannya United Nations Universal Declaration on Human Rights di Durham pada tahun 1948, yang mengatur kesetaraan hak seluruh individu tanpa ada perbedaan apapun. Deklarasi tersebut kemudian didefinisikan secara lebih mendetail ke dalam beberapa konvensi, yang salah satunya ialah International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).
            Diskriminasi Rasial telah menjadi suatu persoalan pelanggaran HAM yang paling serius, sepanjang sejarah peradaban manusia. Diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, atau sebaliknya kepada kelompok mayoritas yang lemah kedudukannya oleh kelompok minoritas yang berkuasa, dengan berbagai bentuk seperti segregasi, genosida, apartheid, xenophobi, penyebaran kebencian, dengan berbagai alasan yang menjadi pembenarannya telah lama menjadi penyulut konflik dan sumber terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi seseorang dalam suatu kelompok masyarakat, atau negara. Oleh sebab itu maka dibentuklah konvensi ICERD sebagai suatu panduan bagi negara-negara anggota PBB untuk mengimplementasikan penegakan dan penjaminan dihapusnya diskriminasi terhadap faktor rasial baik secara legal formal, yakni ketentuan hukum nasional suatu negara maupun secara sosiologis, yakni pengimplementasiannya di negara yang bersangkutan.
            Kenyataan yang terjadi ialah, sebagaimana konvensi-konvensi PBB yang lain, ICERD tidak bersifat mengikat di dalam penegakannya oleh negara-negara anggota PBB. Mengapa tidak semua negara anggota PBB meratifikasi konvensi ini ialah suatu negara harus memastikan dahulu kebijakan nasionalnya tidak bertabrakan dengan isi dari konvensi ICERD ini. Seperti dapat diambil contoh, ialah Indonesia yang baru meratifikasi konvensi ini pasca turunnya pemerintahan Orde Baru. Alasannya ialah adanya diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa secara legal formal, yakni kebijakan surat bukti kewarganegaraan Indonesia dan kewajiban mengadopsi nama Indonesia bagi etnis tersebut, yang tentu saja melanggar prinsip-prinsip di dalam isi ICERD. Barulah setelah aturan tersebut dicabut oleh pemerintahan reformasi, pemerintah Indonesia dapat meratifikasi ICERD.
            Diratifikasinya ICERD oleh suatu negara, dalam realitasnya, tidak menjadikan negara, atau masyarakat dari negara tersebut menjadi patuh dan menjalankan dengan baik isi dari ICERD tersebut. Masih ada suatu kecenderungan bahwa perasaan phobia suatu negara, atau masyarakat suatu negara melanggar prinsip-prinsip dari ICERD tersebut. Phobia tersebut dapat berkaitan dengan faktor politis, ideologis, religi, sosiologi, kultural, dan masih banyak lagi. Sebagai contoh, seperti perasaan Islamophobi di negara-negara barat pasca serangan 11 September 2001, atau adanya perlakuan tidak menyenangkan dari suatu negara terhadap kelompok etnis tertentu, seperti deportasi kaum Gipsi di Perancis atau diskriminasi terhadap keturunan Korea di Jepang, belum lagi adanya perlakuan stereotyping dan sentimen terhadap kelompok etnis tertentu, baik mereka penduduk sah maupun imigran yang masih banyak sekali dipraktekkan di dalam masyarakat di seluruh dunia. Kesimpulan yang dapat diambil ialah, suatu negara yang telah meratifikasi ICERD, menimbang berbagai faktor internal, belum tentu akan melaksanakan dengan sungguh-sungguh prinsip dalam konvensi tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar