Senin, 14 Maret 2011

ICERD dan PR bagi Indonesia

Primadea L. R.
10/297054/SP/23919



ICERD (International Convention on the Elimination of all forms of Racial Discrimination) adalah salah satu turunan dari ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang dibuat untuk menghapus adanya diskriminasi rasial. Konvensi internasional mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial tersebut merupakan manifestasi ide-ide yang datang dari negara-negara dunia ketiga, terutama yang diilhami dari sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan (sekitar awal abad 20 hingga tahun 1990). Hal itu sekaligus mematahkan anggapan masyarakat awam yang mengira bahwa HAM hanyalah ide rekaan yang dibuat oleh negara-negara barat demi interest mereka masing-masing.


Masalah diskriminasi rasial telah menjadi catatan buruk dalam sejarah kehidupan umat manusia di dunia. Tidak sedikit kasus-kasus pelanggaran HAM jenis ini yang bahkan dilakukan oleh pemerintah legal di suatu negara. Pembantaian kaum Yahudi oleh Adolf Hitler dan pembedaan perlakuan antara warga kulit hitam dan kulit putih di Amerika telah menjadi bukti kekejian diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah/negara. Oleh karena itulah manusia ingin menghapus segala macam bentuk diskriminasi atas manusia di manapun, karena pada dasarnya semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama.


ICERD disahkan oleh General Assembly PBB pada 21 Desember 1965 dan mulai dinyatakan berlaku pada tahun 1969. Definisi dari diskriminasi rasial yang tercantum dalam konvensi ini adalah, "Segala bentuk pengecualian, pembatasan, perbedaan, atau preferensi apapun berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul kebangsaan atau etnis yang mempunyai tujuan atau efek meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, persamaan kedudukan, hak asasi manusia, dan kebebasan fundamental di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau lainnya di kehidupan publik". Konvensi ini telah memberikan dampak yang signifikan terhadap undang-undang nasional. Terbukti dengan banyaknya negara yang mengadopsi undang-undang pelarangan adanya diskriminasi rasial, bahkan menjadikannya sebagai pedoman pembuatan produk hukum yang mengatur tentang hal tersebut. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial pada tahun 1999 dan membuat UU No. 29 tahun 1999. Dengan meratifikasi konvensi tersebut, maka secara de facto dan de jure Indonesia menjadi negara yang secara resmi mengikatkan diri terhadap isi konvensi tersebut.


Walaupun telah meratifikasi ICERD, namun sepertinya Indonesia belum dapat terbebas dari kasus-kasus diskriminasi rasial. Konflik dan pertentangan antar ras maupun etnis masih sering terjadi. Perkelahian, pembunuhan, dan pelecehan berdimensi rasial yang dilakukan perorangan atau secara berkelompok masih terjadi dimana-mana. Contoh-contoh tindakan diskriminasi rasial tersebut sangat berpotensi menghancurkan integritas bangsa, mengingat Indonesia adalah sebuah bangsa yang tingkat pluralitasnya tinggi. Plural dari berbagai sektor kehidupan baik sosial, budaya, agama, suku bangsa dan lain-lain. Kondisi kemajemukan seperti ini seringkali labil serta membuka peluang terjadinya diskriminasi ras dan etnis.


Selain itu, masih ada dua pekerjaan rumah yang hendaknya diselesaikan oleh Indonesia sesegera mungkin. PR pertama adalah mengusahakan peniadaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berkaitan dengan diskriminasi rasial. Karena secara konstitusional, negara memiliki kewajiban untuk menegakkan HAM dan hukum yang berkaitan. Kedua adalah kewajiban negara dalam melindungi rakyatnya, atau dalam hal ini (pelanggaran HAM dan diskriminasi rasial) memberikan kompensasi kepada korban yang hak-hak asasi manusianya telah dilanggar/dicederai. Poin nomor dua tersebut cukup krusial, terutama untuk me-maintain kondisi psikologis para korban dan demi menegakkan keadilan substantif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar