Kamis, 17 Maret 2011

ICERD dan Realisasinya di Indonesia mengenai Organisasi Masyarakat

Nama: Firdi Alfarizi Oskandar
NIM: 10/297021/SP/23913


            ICERD (International Convention of Eradication Rasial Discrimination) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti Konvensi Internasional Penghapusan terhadap Diskriminasi Rasial, merupakan salah satu turunan dari Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik yang diterima PBB tahun 1965 dan mulai berlaku efektif tahun 1969. Sampai bulan Juni tahun 2000 sudah sekitar 156 negara peserta yang meratifikasinya dan Indonesia sendiri telah meratifikasinya pada tahun 1999.Definisi Rasial di sini mencakup ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa.
            Sebagai negara yang meratifikasi tentu saja Indonesia harus menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi tersebut dan dalam konvensi ini menetapkan tentang kewajiban negara dalam rangka menghapus diskriminasi rasial dalam kehidupan bernegaranya. Seperti yang kita ketahui sebagai contoh di Indonesia pernah terjadi kasus di mana etnis Tionghoa dilanggar HAMnya tahun 1998, untuk itulah negara wajib sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 CERD “Melarang diskriminasi rasial yang dilakukan oleh orang, kelompok atau organisasi”.
            Disini yang akan saya soroti adalah tentang sejauh mana realisasi pasal-pasal yang ada dalam CERD dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Dalam pasal 5 tentang “Kebencian Rasial” di salah satu poinnya menyebutkan tentang Negara-negara Peserta harus membuat undang-undang untuk melarang organisasi yang akan meningkatkan diskriminasi rasial. Seperti yang kita ketahui pernah terjadi bentrok organisasi massa Front Betawi Rempug (FBR), Front Pembela Islam (FPI), Barisan Pemuda Betawi, dll. Organisasi massa tersebut dianggap telah melakukan tindakan-tindakan yang anarkis yang menimbulkan kerusakan serta korban luka-luka akibat bentrokan. Kemudian FPI juga banyak melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak ada persetujuan dengan pihak berwenang dengan melakukan aksi sweeping terhadap tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat maksiat, namun aksi tersebut lebih kepada aksi pengrusakan property yang kadang-kadang terlihat brutal dan tentu saja menimbulkan kerugian. Pihak yang berwenang juga seperti tutup mata terhadap aksi yang dilakukan FPI tersebut. Pemimpin FPI hanya dipanggil untuk dimintai keterangan dan kemudian dilepaskan tanpa ada tindak lanjutnya.
            Melihat hal tersebut pemerintah terlihat hanya tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa, pernah ada wacana untuk membekukano rganisasi-organisasi masa yang anarkis tersebut namun realisasinya belum ada.Saya rasa dengan adanya organisasi tersebut malah akan menciptakan konflik-konflik berkepanjangan selama organisasi itu ada, tujuan utama pembentukan organisasi yang semula untuk memperkuat solidaritas atau tali silaturahmi yang berdasarkan kesamaan suku bangsa dan agama malah menimbulkan pemikiran negative kepada orang di luar organisasi itu dan puncaknya akan menimbulkan diskriminasi rasial. Saya berpendapat bahwa dalam hal penghapusan tentang Diskriminasi Rasial, pemerintah Indonesia belum mencapai tingkat efektif dalam merealisasikannya.Solusi yang dapat saya berikan sebaiknya pemerintah memperketat aturan perundang-undangan mengenai Ormas dan pihak yang berwajib harus lebih tegas lagi dalam mencegah terjadinya tindakan-tindakan negative yang dilakukan oleh ormas-ormas yang ada, termasuk memberikan sangsi terhadap ormas yang melakukan pengrusakan.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar