Rabu, 16 Maret 2011

ICERD Sebagai Fungsi Kontrol

DARA NINGGARWATI GUMAWANG
10/299490/SP/24147

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) adalah salah satu bentuk generasi kedua instrumen Hak Asasi Manusia yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi ini memuat materi-materi yang menentang segala diskriminasi ras,etnis, maupun agama dilengkapi dengan keterangan legitimasi untuk mengadili berbagai bentuk kejahatan rasial, serta mengajak seluruh umat manusia untuk memiliki sikap tenggang rasa dan toleransi terhadap sesama tanpa terkecuali. Konvensi ini ditandatangani oleh Majelis Umum PBB pada 21 Desember 1965 dan mulai ditetapkan berlaku pada 4 Januari 1969. Terdapat 85 negara yang menandatangani, serta 174 negara lain yang meratifikasinya, dimana Indonesia termasuk negara yang menandatangani sekaligus meratifikasinya. Dalam pelaksanaannya, konvensi ini memiliki komite khusus yaitu Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) sebagai fungsi kontrol agar implementasi butir-butir konvensi berjalan dengan baik dan terhindar dari berbagai penyimpangan.
Latar belakang dibalik pembuatan konvensi ini adalah maraknya insiden anti semitisme yang merupakan diskriminasi diikuti aksi kekerasan terhadap masyarakat Yahudi pada akhir tahun 1960. Insiden tersebut mendorong Majelis Umum PBB untuk mengadopsi resolusi yang mengutuk semua praktek pembencian terhadap ras maupun agama, karena merupakan bentuk pelanggaran terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pada akhirnya konvensi ini terbuat dengan secara garis besar mengadaptasi butir-butir isi dari Deklarasi Universal HAM PBB, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya. ICERD terdiri dari pembukaan serta 25 pasal yang terbagi kedalam tiga bagian berbeda.
Manifestasi ICERD di Indonesia tak luput dari berbagai permasalahan segregasi rasial di negeri yang amat pluralistik ini. Indonesia yang berdiri atas nama “Bhinneka Tunggal Ika” tak sepenuhnya dapat meminimalisir berbagai konflik yang terpaku pada isu-isu multikultur dan multietnis. Seperti halnya dewasa ini, Indonesia menghadapi konflik antar umat beragama yang berujung pada kekerasan fisik dan korban jiwa yaitu antara Jamaah Ahmadiyah dengan masyarakat muslim. Menurut hemat saya, ICERD kurang berperan aktif dalam mengelaborasi masalah penentangan diskriminasi terhadap agama dan keyakinan, karena pada pasal-pasalnya tak tertera bentuk-bentuk perlindungan terhadap kepercayaan lainnya diluar agama yang diakui dunia, padahal tak tertutup kemungkinan manusia mempunyai perasaan insekuritas terhadap bentuk-bentuk agama yang telah dibakukan dan mencari bentuk pelarian serta penciptaan keyakinan yang dirasa nyaman olehnya, selama hal tersebut tidak mengganggu hak-hak orang lain namun diresapi secara personal. Kerukunan antar umat beragama di Indonesia juga tak dijamin sepenuhnya dengan adanya ICERD ini, seperti halnya masih adanya sentimen antar umat beragama pada pemilihan petinggi-petinggi di BUMN yang merasa penempatan orang beragama islam adalah yang paling pantas, tak terjaminnnya keamanan masyarakat beragama merayakan hari besarnya dengan ancaman pemboman, serta usaha implisit pengambilalihan penyelenggaraan pemerintahan dengan berbagai pembuatan kebijakan yang didorong oleh kelompok kepentingan mayoritas beragaa islam, dan sebagainya. Terdapat pula konflik etnis dan ras seperti konflik sampit yang melibatkan suku dayak dan madura, konflik antar suku di Papua yang bahkan tidak bisa diminimalisir maupun diatasi oleh pihak berwajib.
Hal-hal ironis seperti yang tertera diatas mengindikasikan bahwa ICERD sesungguhnya tak tersosialisasikan dengan baik di Indonesia secara menyeluruh, karena bentuk toleransi dan tenggang rasa antar masyarakat masih amat minim, seakan tak sadar akan adanya justifikasi legal mengenai segala bentuk diskriminasi yang bahkan telah sebelumnya disinggung secara general pada Deklarasi Universal HAM PBB, kemudian diadaptasi kembali pada dasar negara serta UUD 1945. Badan-badan hukum yang memainkan peran yudisial pada pelanggaran HAM juga tak berjalan efektif karena tak terbangun jembatan kerjasama yang baik dengan masyarakat yang kurang sadar hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar